Tuesday, May 4, 2010

Kerinduan Seorang Bocah..

Kompas, Jumat, 26 Juni 2009 | 11:17 WIB

Bagaimana jika seorang anak merindukan kehadiran ayah yang pernah membesarkan, mencintai, dan membimbingnya? Berbagai cara tentu akan dilakukan, untuk melampiaskan kerinduan atau bahkan berupaya menemukan kembali sang ayah.

Fitri Nganthi Wani (20), anak penyair Wiji Thukul yang hilang pada 1996, menuangkan kerinduan hatinya kepada sang ayah melalui puisi. Buku kumpulan puisi berjudul Selepas Bapakku Hilang, memperlihatkan pemberontakkan hatinya terhadap hilangnya sang ayah, yang saat itu dinilai terlalu vokal menyuarakan karut-marut kondisi masyarakat.

Hal tersebut seperti terlihat pada puisi berjudul Berikan Aku Keadilan yang ditulis Fitri pada 3 Februari 2001.

Saat itu malam kian sepi Mataku tak sanggup terpejam Pikiranku kacau, membayang masa-masa itu Masa rumahku digerebek polisi Karena bapakkku terlampau berani Suarakan nasib rakyat dalam puisi Pada akhir puisi, Fitri menutupnya dengan permohonan doa kepada Tuhan, agar keluarganya mendapatkan keadilan yang sempurna. Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tersebut juga menulis puisi mengenai ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, kemiskinan, hingga perbedaan jender. Fitri menulis puisi-puisi tersebut sejak umur 11 tahun.

Peluncuran dan diskusi buku Selepas Bapakku Hilang diselenggarakan Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Tegal dan Pesisir Foundation di Gedung Kesenian Kota Tegal, Rabu (24/6) malam. Dalam acara tersebut, Fitri tampil membacakan dua puisi.

Buku tersebut diterbitkan oleh Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Buku Selepas Bapakku Hilang tampil dalam dua muka dan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Menurut Fitri, sebenarnya dia tidak pernah berniat menjadi epigon ayahnya, dengan mengambil judul buku Selepas Ayahku Pulang. Justru dia yakin, ayahnya akan bangga dengan karya yang dihasilkannya. "Seharusnya bapak berdua dengan ibu mendidik anaknya, tapi kenyataannya hanya ibu sendiri," ujarnya.

Dia mengaku menulis puisi terutama saat sedih. Kebiasaan dari kecil tersebut akhirnya membentuk kemampuan mengolah kata, menjadi sebuah puisi. "Ini hasil didikan Bapak yang dititipkan kepada Ibu," tuturnya.

Kondisi tersebut dibenarkan oleh Sipon, ibu Fitri. Peristiwa penggerebekan rumahnya pada 5 Agustus 1996, sangat memukul perasaan dan membuat bingung Fitri. Gadis cilik tersebut tidak mau tidur hingga berhari-hari.

Meskipun berbagai upaya dia lakukan, tetapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya pada suatu malam, Sipon memberikan kertas di dekat tempat tidur Fitri. Ternyata setelah mampu menuliskan kerinduannya kepada sang ayah, Fitri pun tertidur. "Saat itu saya baru tahu kalau dia rindu kepada ayahnya," kata Sipon.

Kehadiran buku tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat, khususnya para seniman. Nurhidayat Poso, seniman asal Tegal, mengaku tercengang melihat puisi-puisi Fitri yang ditulis saat masih kecil. Menurut laki-laki yang pernah bersahabat dekat dengan Wiji Thukul tersebut, isi puisi tersebut tidak seperti kebanyakan puisi anak-anak.

Puisi-puisi tersebut memiliki nuansa pemberontakan dan keberanian menyatakan diri dalam bahasa yang lugas. Terbitnya buku dalam dua bahasa, diharapkan mampu menjangkau pembaca yang lebih luas. (Siwi Nurbiajanti)

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com